Makin Banyak Pasien RI 'Kebal' Antibiotik, 70 Persen Alami Resisten Antimikroba

20 hours ago 1
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Bukti nyata resisten antimikroba juga terjadi di Indonesia. Pemakaian antibiotik sembarangan memicu munculnya bakteri kebal antibiotik, sehingga pengobatan tak lagi efektif. Hal ini tentu berdampak pada sejumlah pelayanan atau perawatan pasien.

Menurut Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI dr Azhar Jaya, SH, SKM, MARS, insiden kasus resisten antimikroba sejauh ini terjadi pada dua jenis bakteri yakni Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae. Kedua bakteri tersebut bisa mengancam nyawa dan menyerang seluruh sistem organ tubuh manusia.

"Data AMR di Indonesia secara khusus didapatkan dari data yang dilaporkan oleh rumah sakit sentinel yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan, di mana hasil pengukuran Extended-spectrum Beta-Lactamase (ESBL) tahun 2022 pada 20 rumah sakit sentinel site sebesar 68 persen," beber Azhar di Jakarta, dalam keterangan tertulis, Selasa (17/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kemudian, di tahun 2023 pada 24 rumah sakit sentinel site sebesar 70,73 persen dari target ESBL tahun 2024 sebesar 52 persen. Angka ini menunjukan, adanya peningkatan resistensi antimikroba pada bakteri jenis Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae."

Pemerintah rencananya akan melakukan pengukuran ESBL pada akhir 2024 di 56 rumah sakit seluruh Indonesia, baik milik pemerintah maupun swasta untuk melihat gambaran utuh resisten mikroba.

Seserius Apa Efeknya?

Pasien dengan kondisi resisten antimikroba memerlukan penanganan lebih banyak. Hal ini dikarenakan bakteri sudah kebal dengan antibiotik yang menjadi perawatan umum sebelumnya.

"Merawat pasien dengan infeksi AMR sangat sulit karena beberapa faktor. Yang pertama adalah pilihan obat terbatas. Obat yang efektif untuk pasien AMR mungkin tidak tersedia atau mahal dan patogen bisa menjadi resisten terhadap antibiotik yang ada," jelas Azhar.

"Kedua, penegakan diagnosis menjadi lambat," lanjutnya.

Azhar menjelaskan dibutuhkan pemeriksaan kultur serta uji kepekaan dalam kasus pasien dengan resisten mikroba. Hal ini jelas memperpanjang waktu perawatan pasien karena menunggu hasil pengobatan yang tepat.

Kondisi resisten antimikroba juga membuat pasien harus memakai antibiotik dengan efek samping berat dan risiko toksisitas. Belum lagi, penyebaran infeksi resisten mikroba yang cepat terjadi di lingkungan rumah sakit.

"Biaya tinggi. Karena perawatan AMR membutuhkan waktu yang lama (Length of Stay/Los memanjang) sehingga pengobatan AMR menjadi sangat mahal, produktivitas pasien dan keluarga penunggu menurun, serta membebani pasien dan jaminan kesehatan," lanjut Azhar.


(naf/suc)

Read Entire Article